PERNIKAHAN YANG DILARANG DALAM SYARIAT ISLAM
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan dalam
masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan
yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum
muslimin untuk menjauhinya.
1. Nikah Syighar
Definisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ
وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِي أَوْ زَوِّجْنِي أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِي.
“Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain,
‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan
dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu,
maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu.” [1]
Dalam hadits lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ شِغَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ.
“Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” [2]
Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya
nikah syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan,
apakah nikah tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak.[3]
2. Nikah Tahlil
Yaitu menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang sudah
ditalak tiga oleh suami sebelumnya. Lalu laki-laki tersebut mentalaknya.
Hal ini bertujuan agar wanita tersebut dapat dinikahi kembali oleh
suami sebelumnya (yang telah mentalaknya tiga kali) setelah masa ‘iddah
wanita itu selesai.
Nikah semacam ini haram hukumnya dan termasuk dalam perbuatan dosa besar. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُحَلِّلَ وَالْمُحَلَّلَ لَهُ.
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melaknat muhallil [4] dan muhallala lahu.” [5][6]
3. Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah disebut juga nikah sementara atau nikah terputus. Yaitu
menikahnya seorang laki-laki dengan seorang wanita dalam jangka waktu
tertentu; satu hari, tiga hari, sepekan, sebulan, atau lebih.
Para ulama kaum muslimin telah sepakat tentang haram dan tidak sahnya nikah mut’ah. Apabilah telah terjadi, maka nikahnya batal!
Telah diriwayatkan dari Sabrah al-Juhani radhiyal-laahu ‘anhu, ia berkata,
أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمُتْعَةِ
عَامَ الْفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ، ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ مِنْهَا
حَتَّى نَهَانَا عَنْهَا.
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami
untuk melakukan nikah mut’ah pada saat Fat-hul Makkah ketika memasuki
kota Makkah. Kemudian sebelum kami mening-galkan Makkah, beliau pun
telah melarang kami darinya (melakukan nikah mut’ah).” [7]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ! إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي
اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ، وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ
إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ.
“Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya aku pernah mengijinkan kalian
untuk bersenang-senang dengan wanita (nikah mut’ah selama tiga hari).
Dan sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut (nikah mut’ah)
selama-lamanya hingga hari Kiamat.” [8]
4. Nikah Dalam Masa ‘Iddah.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ
“Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa ‘iddahnya.” [Al-Baqarah : 235]
5. Nikah Dengan Wanita Kafir Selain Yahudi Dan Nasrani.[9]
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا
تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ
خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى
النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ
ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kaum nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada
perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman)
sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman
lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun ia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke Neraka, sedangkan Allah mengajak ke Surga dan ampunan
dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar
mereka mengambil pelajaran.” [Al-Baqarah : 221]
6. Nikah Dengan Wanita-Wanita Yang Diharamkan Karena Senasab Atau Hubungan Kekeluargaan Karena Pernikahan.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ
الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي
حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ
تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ
أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا
رَحِيمًا
“Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu,
saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu,
saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara
laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perem-puanmu, ibu-ibu yang
menyusuimu, saudara-saudara perempuan yang satu susuan denganmu,
ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri)
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi
jika kamu belum mencampurinya (dan sudah kamu ceraikan) maka tidak
berdosa atasmu (jika menikahinya), (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam
pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
[An-Nisaa' : 23]
7. Nikah Dengan Wanita Yang Haram Dinikahi Disebabkan Sepersusuan, Berdasarkan Ayat Di Atas.
8. Nikah Yang Menghimpun Wanita Dengan Bibinya, Baik Dari Pihak Ayahnya Maupun Dari Pihak ibunya.
Berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلاَ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا.
“Tidak boleh dikumpulkan antara wanita dengan bibinya (dari pihak ayah),
tidak juga antara wanitadengan bibinya (dari pihak ibu).” [10]
9. Nikah Dengan Isteri Yang Telah Ditalak Tiga.
Wanita diharamkan bagi suaminya setelah talak tiga. Tidak dihalalkan
bagi suami untuk menikahinya hingga wanitu itu menikah dengan orang lain
dengan pernikahan yang wajar (bukan nikah tahlil), lalu terjadi cerai
antara keduanya. Maka suami sebelumnya diboleh-kan menikahi wanita itu
kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ
زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ
يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۗ وَتِلْكَ
حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Kemudian jika ia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka
perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum ia menikah dengan suami
yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak
ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas isteri) untuk menikah
kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum
Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada
orang-orang yang berpengetahuan.” [Al-Baqarah : 230]
Wanita yang telah ditalak tiga kemudian menikah dengan laki-laki lain
dan ingin kembali kepada suaminya yang pertama, maka ketententuannya
adalah keduanya harus sudah bercampur (bersetubuh) kemudian terjadi
perceraian, maka setelah ‘iddah ia boleh kembali kepada suaminya yang
pertama. Dasar harus dicampuri adalah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam,
لاَ، حَتَّى تَذُوْقِى عُسَيْلَتَهُ وَيَذُوْقِى عُسَيْلَتَكِ.
“Tidak, hingga engkau merasakan madunya (bersetubuh) dan ia merasakan madumu.”[11]
10. Nikah Pada Saat Melaksanakan Ibadah Ihram.
Orang yang sedang melaksanakan ibadah ihram tidak boleh menikah, berdasarkan sabda Nabi shallal-laahu ‘alaihi wa sallam:
اَلْمُحْرِمُ لاَ يَنْكِحُ وَلاَ يَخْطُبُ.
“Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah atau melamar.” [12]
11. Nikah Dengan Wanita Yang Masih Bersuami.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Dan (diharamkan juga kamu menikahi) perempuan yang bersuami...” [An-Nisaa' : 24]
12. Nikah Dengan Wanita Pezina/Pelacur.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ
لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى
الْمُؤْمِنِينَ
"Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan,
atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah
kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang
demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” [An-Nuur : 3]
Seorang laki-laki yang menjaga kehormatannya tidak boleh menikah dengan
seorang pelacur. Begitu juga wanita yang menjaga kehormatannya tidak
boleh menikah dengan laki-laki pezina. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta’ala:
الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ
وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ
أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ
كَرِيمٌ
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki
yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan
perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki
yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih
dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rizki yang
mulia (Surga).” [An-Nuur : 26]
Namun apabila keduanya telah bertaubat dengan taubat yang nashuha
(benar, jujur dan ikhlas) dan masing-masing memperbaiki diri, maka boleh
dinikahi.
Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma pernah berkata mengenai laki-laki yang
berzina kemudian hendak menikah dengan wanita yang dizinainya, beliau
berkata, “Yang pertama adalah zina dan yang terakhir adalah nikah. Yang
pertama adalah haram sedangkan yang terakhir halal.”[13]
13. Nikah Dengan Lebih Dari Empat Wanita.
Berdasarkan firman Allah Ta’ala:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat...” [An-Nisaa' : 3]
Ketika ada seorang Shahabat bernama Ghailan bin Salamah masuk Islam
dengan isteri-isterinya, sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri.
Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memilih
empat orang isteri, beliau bersabda,
أَمْسِكْ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ.
“Tetaplah engkau bersama keempat isterimu dan ceraikanlah selebihnya.” [14]
Juga ketika ada seorang Shahabat bernama Qais bin al-Harits mengatakan
bahwa ia akan masuk Islam sedangkan ia memiliki delapan orang isteri.
Maka ia mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan men-ceritakan
keadaannya. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا.
“Pilihlah empat orang dari mereka.” [15]
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa
Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1416) dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1415 (60)) dari Ibnu
‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma. Diriwayatkan juga oleh Ahmad (III/165),
al-Baihaqi (VII/200), Ibnu Hibban (no. 4142) dari Anas bin Malik
radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 7501).
[3]. Lihat al-Wajiiz (hal. 296-297) dan al-Mausuu’ah Fiqhiyyah al-Muyassarah (hal. 53-56)
[4]. Muhallil adalah seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita atas
suruhan suami sebelumnya yang telah mentalaknya tiga kali. Hal ini
bertujuan agar mantan suami itu dapat menikahi wanita tersebut setelah
masa ‘iddahnya selesai.
[5]. Muhallala lahu adalah seorang suami yang telah mentalak tiga
isterinya kemudian menyuruh seorang laki-laki untuk menikahi mantan
isterinya lalu mentalaknya agar ia dapat menikahi mantan isterinya
kembali setelah masa ‘iddahnya selesai.
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2076), at-Tirmidzi
(no. 1119), Ibnu Majah (no. 1935), dari Shahabat ‘Ali bin Abi Thalib
radhiyallaahu ‘anhu. Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 1501), lihat juga
al-Wajiiz (hal. 297-298) dan al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah
(hal. 49-52).
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1406 (22)).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1406 (21)), dari
Shahabat Sabrah al-Juhani radhiyallaahu ‘anhu. Lihat al-Wajiiz (hal.
298) dan Mausuu’ah al-Fiqhiyyah (hal. 47-49).
[9]. Menikah dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) dibolehkan berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Maa-idah ayat 5.
[10]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5108), Muslim
(no. 1408), at-Tirmidzi (no. 1126), an-Nasa-i (VI/96), Abu Dawud (no.
2065), Ahmad (II/401, 423, 432, 465), dari Shahabat Abu Hurairah
radhiyallaahu ‘anhu.
[11]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5317), Muslim
(no. 1433), at-Tirmidzi (no. 1118), an-Nasa-i (VI/94) dan Ibnu Majah
(no. 1932).
[12]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 1409), at-Tirmidzi
(no. 840) dan an-Nasa-i (V/192), dari Shahabat ‘Utsman bin ‘Affan
radhiyallaahu ‘anhu.
[13]. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi (VII/155). Lihat Adabul Khitbah waz Zifaf (hal. 29-30).
[14]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 1128), Ibnu
Majah (no. 1953), al-Hakim (II/192-193), al-Baihaqi (VII/149, 181) dan
Ahmad (II/44).
[15]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2241), Ibnu Majah
(no. 1952), dan al-Baihaqi (VII/183). Hadits ini dihasankan oleh Syaikh
al-Albani rahimahullaah dalam Silsilah ash-Shahiihah (no. 1885).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar