Jumat, 25 Desember 2015

Syarat, Rukun Dan Kewajiban Dalam Aqad Nikah

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM



Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya:

1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM

TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara pernikahan berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih sesuai dengan pemahaman para Salafush Shalih, di antaranya adalah:

1. Khitbah (Peminangan)
Seorang laki-laki muslim yang akan menikahi seorang muslimah, hendaklah ia meminang terlebih dahulu karena dimungkinkan ia sedang dipinang oleh orang lain. Dalam hal ini Islam melarang seorang laki-laki muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيْعَ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَلاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيْهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ.

“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) oleh saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminangnya itu meninggalkannya atau mengizinkannya.” [1]

TUJUAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM

TUJUAN PERNIKAHAN DALAM ISLAM


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


1. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini adalah dengan ‘aqad nikah (melalui jenjang pernikahan), bukan dengan cara yang amat kotor dan menjijikkan, seperti cara-cara orang sekarang ini; dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

2. Untuk Membentengi Akhlaq yang Luhur dan untuk Menundukkan Pandangan.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya adalah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang dapat merendahkan dan merusak martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pem-bentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk me-melihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan.

PERNIKAHAN YANG DILARANG DALAM SYARIAT ISLAM

PERNIKAHAN YANG DILARANG DALAM SYARIAT ISLAM


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



Allah tidak membiarkan para hamba-Nya hidup tanpa aturan. Bahkan dalam masalah pernikahan, Allah dan Rasul-Nya menjelaskan berbagai pernikahan yang dilarang dilakukan. Oleh karenanya, wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menjauhinya.

1. Nikah Syighar
Definisi nikah ini sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُوْلَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِي أَوْ زَوِّجْنِي أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِي.

“Nikah syighar adalah seseorang yang berkata kepada orang lain, ‘Nikahkanlah aku dengan puterimu, maka aku akan nikahkan puteriku dengan dirimu.’ Atau berkata, ‘Nikahkanlah aku dengan saudara perempuanmu, maka aku akan nikahkan saudara perempuanku dengan dirimu.” [1]

Dalam hadits lain, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ شِغَارَ فِي اْلإِسْلاَمِ.

“Tidak ada nikah syighar dalam Islam.” [2]

Hadits-hadits shahih di atas menjadi dalil atas haram dan tidak sahnya nikah syighar. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan, apakah nikah tersebut disebutkan mas kawin ataukah tidak.[3]

PERNIKAHAN ADALAH FITRAH BAGI MANUSIA

PERNIKAHAN ADALAH FITRAH BAGI MANUSIA


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Agama Islam adalah agama fitrah, dan manusia diciptakan Allah ‘Azza wa Jalla sesuai dengan fitrah ini. Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla menyuruh manusia untuk menghadapkan diri mereka ke agama fitrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan sehingga manusia tetap berjalan di atas fitrahnya.

Pernikahan adalah fitrah manusia, maka dari itu Islam menganjurkan untuk menikah karena nikah merupakan gharizah insaniyyah (naluri kemanusiaan). Apabila gharizah (naluri) ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah, yaitu pernikahan, maka ia akan mencari jalan-jalan syaitan yang menjerumuskan manusia ke lembah hitam.

Firman Allah ‘Azza wa Jalla:

BINGKISAN ISTIMEWA MENUJU KELUARGA SAKINAH

BINGKISAN ISTIMEWA MENUJU KELUARGA SAKINAH


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Mqaddimah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

إِنَّ الْحَمْدَ ِللهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

Segala puji hanya bagi Allah Ta’ala, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barang-siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

ALLÂH SUBHANAHU WA TA’ALA JADIKAN SEBAB/PRANTARA SEBAGAI KABAR GEMBIRA

ALLÂH SUBHANAHU WA TA’ALA JADIKAN SEBAB/PRANTARA SEBAGAI KABAR GEMBIRA


جَعَلَ اللهُ الأَسْبَابَ لِلْمَطَالِبِ الْعَالِيَةِ مُبَشِّرَاتٍ لِتَطْمِيْنِ الْقُلُوْبِ وَزِيَادَةِ الإِيْمَانِ

Allâh menjadikan prantara bagi semua tujuan yang tinggi sebagai mubassyirat (pembawa kabar gembira) agar hati menjadi tenang dan iman bertambah

Allâh Azza wa Jalla Mahakuasa untuk mewujudkan semua tujuan dan maksud yang diinginkan oleh para hamba-Nya tanpa melalui sebab atau prantara. Namun Allâh Azza wa Jalla sengaja menjadikan dan menetapkan prantara atau sebab bagi sebuah tujuan agar menjadi mubassyirat (pembawa kabar gembira), sehingga dengan demikian hati akan menjadi tenang dan keimanan akan bertambah.

Ini bisa ditemukan di banyak tempat, misalnya, ketika Allâh Azza wa Jalla menerangkan tentang pengiriman bala bantuan dalam perang Badr. Pengiriman bala bantun ini menjadi prantara atau penyebab kemenangan yang diinginkan oleh Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan kaum Muslimin. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

ARTI PERUMPAMAAN DALAM AL-QUR’AN

ARTI PERUMPAMAAN DALAM AL-QUR’AN


al-Qur’anul karim sebagai kitab pedoman berisi berbagai pembahasan bermanfaat yang sangat dibutuhkan oleh manusia dalam segala kondisi. Misalnya, dalam metode pembelajaran dan cara menanamkan sebuah nilai dalam hati seseorang. Metode yang dipakai adalah metode yang simpel dan paling jelas. Diantara metodenya yaitu dengan membuat perumpamaan-perumpamaan. Metode ini dipakai untuk menyampaikan masalah-masalah yang sangat urgen dan krusial, seperti masalah tauhid dan kondisi orang-orang yang mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla , masalah syirik dan kondisi kaum musyrik, dan berbagai amalan besar lainnya. Tujuannya tentu untuk memahamkan dan menanamkan nilai-nilai luhur yang abstrak dengan cara menggambarkannya dengan sesuatu yang kongkrit sehingga seakan-akan terlihat mata. Oleh karena itu, merupakan suatu keharusan bagi seorang hamba untuk memperhatikannya dan berusaha untuk memahami maksud perumpamaan-perumpamaan itu.

MUHKAM DAN MUTASYÂBIH

MUHKAM DAN MUTASYÂBIH


الْقُرْآنُ كُلُّهُ مُحْكَمٌ بِاعْتِبَارٍ، وَكُلُّهُ مُتَشَابِهٌ بِاعْتِبَارٍ، وَبَعْضُهُ مُحْكَمٌ وَبَعْضُهُ مُتَشَابِهٌ بِاعْتِبَارٍ ثَالِثٍ

Dipandang dari satu sisi, al-Qur'ân itu semuanya muhkam; Dari sisi yang lain, semuanya mutasyâbih; Dan dari sisi yang lain, sebagian dari al-Qur'ân itu muhkam, sementara sebagiannya lagi mutasyâbih.

Pembahasan tentang muhkam dan mutasyâbih ini sangat penting. Karena betapa banyak orang yang tersesat akibat salah memahami kalâmullâh, tidak bisa membedakan antara yang muhkam dan mutasyâbih atau salah dalam menyikapi keduanya.

Muhkam dan mutasyâbih termasuk diantara sifat yang Allâh Azza wa Jalla tetapkan untuk al-Qur'ân. Keduanya memiliki makna yang berbeda-beda. Berikut penjelasannya.

MENDAHULUKAN MASHLAHAT TERTINGGI DAN MENGUTAMAKAN KEBURUKAN TERKECIL

MENDAHULUKAN MASHLAHAT TERTINGGI DAN MENGUTAMAKAN KEBURUKAN TERKECIL


فِي الْقُرْآنِ عِدَّةُ آيَاتٍ فِي الْحَثِّ عَلَى أَعْلَى الْمَصْلَحَتَيْنِ وَتَقْدِيْمِ أَهْوَنِ الْمَفْسَدَتَيْنِ، وَمَنْعِ مَا كَانَتْ مَفْسَدَتُهُ أَرْجَحَ مِنْ مَصْلَحِتِهِ

Dalam beberapa ayat al-Qur'an ada anjuran agar (kaum Muslimin) mendahulukan mashlahat yang lebih besar atau mendahulukan mafsadah yang lebih kecil serta ada larangan dari (melakukan) sesuatu yang mafsadah (keburukan)nya lebih dominan dari pada mashlahatnya

Diantara pokok agama yang wajib diketahui oleh kaum Muslimin yaitu agama ini diturunkan oleh Allâh Azza wa Jalla untuk merealisasikan dan memperbanyak kemaslahatan (kebaikan) serta untuk melenyapkannya atau meminimalisir keburukan. Oleh karena itu Islam memerintahkan bahkan mewajibkan kaum Muslimin untuk melakukan berbagai perbuatan baik, seperti shalat, puasa, zakat, menyambung silaturahmi dan lain sebagainya. Islam juga melarang bahkan mengharamkan semua keburukan. Adalah kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mentaati syari'at Allâh Azza wa Jalla dengan melakukan semua kebaikan yang diperintahkan dan menjauhi semua keburukan yang dilarang. Namun terkadang dalam kondisi tertentu, seseorang tidak bisa melakukan semua kebaikan yang diketahuinya dan tidak bisa menghindari semua keburukan yang dilarang syari'at. Artinya dia harus memilih. Lalu mana yang harus dipilih ? Inilah yang maksud perkataan penyusun kitab al-Qawa'idul Hisan al-Muta'alliqah bi tafsiril Qur'an di atas.

IMAN DAN AMAL SHALEH SEBAGAI STANDAR KEBAIKAN

IMAN DAN AMAL SHALEH SEBAGAI STANDAR KEBAIKAN


يُرْشِدُ الْقُرْآنُ إِلَى أَنَّ الْعِبْرَةَ بِحُسْنِ حَالِ الإِنْسَانِ : إِيْمَانُهُ الصَّحِيْحُ وَعَمَلِهِ الصَّالِحُ، وَأَنَّ الاِسْتِدْلاَلَ عَلَى ذَلِكَ باِلدَّعَاوَى الْمُجَرَّدَةِ أَوْ بِإِعْطَاءِ اللهِ لِلْعَبْدِ مِنَ الدُّنْيَا بِالرِّيَاسَاتِ, كُلُّ ذَلِكَ مِنْ طُرُقِ الْمُنْحَرِفِيْنَ

Al-Qur’ân memberikan petunjuk bahwa standar baiknya seseorang adalah keimanan dan amal shalehnya. Al-Qur’ân juga menunjukkan bahwa mengukur kebaikan seseorang berdasarkan pengakuan hampa, kekayaan yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada seseorang atau berdasarkan jabatan adalah metode orang-orang menyimpang

Kaidah ini menunjukan bahwa bukti baiknya keadaan seseorang adalah keistiqamahannya dalam iman dan amal shaleh serta semangatnya untuk selalu bergegas melakukan kebaikan, bukan harta melimpah, bukan pula pengakuan-pengakuan hampa. Orang yang senantiasa melakukan perbuatan taat dan konsisten menjalankan al-Qur’an dan sunnah, dialah orang baik, sebaliknya yang tidak seperti itu berarti dia buruk, bagaimanapun pengakuan dan perkataannya.

Asal Usul Catatan Kebaikan Bagi Seorang Hamba

ASAL USUL CATATAN KEBAIKAN BAGI SEORANG HAMBA



يُكْتَبُ لِلْعَبْدِ عَمَلُهُ الَّذِيْ بَاشَرَهُ، وَيُكَمَّلُ لَهُ مَا شَرَعَ فِيْهِ وَعَجَزَ عَنْ تَكْمِيْلِهِ قَهْراً عَنْهُ، وَيُكْتَبُ لَهُ مَا نَشَأَ عَنْ عَمَلِهِ

Seorang hamba akan ditulis untuknya perbuatan yang dia lakukan sendiri dan akan dinilai sempurna amal perbuatan yang mulai dilakukannya namun dia terpaksa tidak bisa melanjutkannya juga akan dituliskan untuknya apa-apa yang timbul dari amal perbuatannya tersebut

Tiga hal ini termasuk diantara karunia Allâh Azza wa Jalla kepada para hamba-Nya juga termasuk bukti betapa rahmat Allâh itu sangat luas. Ketiganya disebutkan dalam al-Qur'ân.

Selasa, 01 Desember 2015

RENCANA STUDI



RENCANA STUDI
Saya, Supriadi, lulusan dari Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Selama kuliah saya aktif organisasi yang berorientasi pada pendidikan dimana salah satu kegiatan dari organisasi ini yaitu Bakti Ilmiah yang berfokus pada kegiatan proses belajar mengajar di sekolah yang ada di desa-desa yang kami laksanakan dua kali dalam setahun. Selain itu, saya juga mengadakan bimbingan belajar secara gratis untuk adik-adik mahasiswa jurusan pendidikan matematika dan juga saya aktif di pembinaan anak-anak TPA serta pernah membimbing siswa klub matematika di salah satu sekolah di kabupaten Gowa. Hal ini saya lakukan untuk menyalurkan hobi saya yaitu mengajar. Saya memiliki cita-cita untuk menjadi seorang dosen, tentu ini didasarkan terhadap kesukaan saya mengajar dan keinginan saya untuk mengembangkan daerah saya khususnya di dunia pendidikan yang tentunya akan berdampak pada kehidupan bangsa Indonesia, Insya Allah. Dengan cita-cita sebagai dosen saya harus melanjutkan pendidikan ke jenjang S2, sehingga kelak saya semakin mantap dalam memberikan pengajaran yang baik dari segi metodologi dan tentunya dari segi kapasitas ilmu yang mengharuskan saya harus menyandang gelar S2.

HUKUM MENGIKIR GIGI

HUKUM MENGIKIR GIGI


Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan



Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Hukum mengikir gigi

Jawaban
Perbuatan ini diharamkan, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Para wanita yang mengikir gigi untuk berhias dan yang merubah ciptaan Allah”

Mengikir gigi merupakan perbuatan yang merubah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyibukkan diri dengan perbuatan sia-sia yang tidak ada manfaatnya, dan hanya membuang-buang waktu yang seharusnya dipergunakan untuk hal-hal lain yang lebih bermanfaat bagi manusia. Perbuatan tersebut juga merupakan penipuan dan penggelapan serta menunjukkan kerdilnya manusia.

[Zinatul Mar’ah, hal. 84]

HUKUM MENGIKIR GIGI UNTUK KEINDAHAN

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Hukum wanita yang mengikir giginya untuk keindahan, dengan cara mendinginkan gigi-giginya dengan pendingin, lalu membuat jarak antara gigi-giginya, hal itu dilakukannya untuk menambah keindahan.

Jawaban
Diharamkan bagi wanita muslim untuk mengikir gigi-giginya dengan tujuan memperindah diri, dengan cara mendinginkan gigi-giginya dengan pendingin sehingga tampak merenggang jarak antara gigi-giginya supaya kelihatan cantik. Namun apabila terdapat kotoran pada gigi-giginya yang mengharuskannya mengubahnya, dengan tujuan untuk menghilangkan kotoran tersebut, atau karena terdapat ketidaknyamanan yang mengharuskannya untuk memperbaikinya dengan tujuan untuk menghilangkan ketidaknyamanan tersebut, maka perbuatan tersebut tidak mengapa, karena hal itu termasuk dalam berobat dan membuang kotoran, yang hanya bisa dilakukan oleh daokter spesialis.

[Tanbihat “ala Ahkamin Takhushshu bil Mu’minat, Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal 11]

HUKUM MENGIKIR GIGI UNTUK TUJUAN PENGOBATAN

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Hukum mengikir gigi untuk pengobatan dan menghilangkan kekurangan

Jawaban
Mengubah gigi untuk tujuan memperindahnya dan untuk menampakkan ketajamannya adalah perbuatan haram. Namun apabila untuk tujuan pengobatan, maka tidak mengapa. Jika tumbuh gigi pada wanita yang menyusahkannya, maka diperbolehkan untuk mencabutnya karena gigi tersebut merusak pemandangan dan menyulitkannya dalam makan, sedangkan membuang aib (kekurangan) diperbolehkan menurut syari’at. Demikian pula apabila terdapat kelainan yang memerlukan pengobatan, maka diperbolehkan.

[Ziantul Mar’ah, Syaikh Abdullah Al-Fauzan hal. 85]

MELURUSKAN GIGI DAN MENDEKATKAN ANTARA GIGI-GIGI

Pertanyaan
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Bolehkah meluruskan gigi dan mendekatkan antara gigi-gigi hingga tidak tampak terpisah-pisah?

Jawaban
Bila memang diperlukan, misalnya ada kelainan yang harus diperbaiki, maka hukumnya diperbolehkan.

Namun apabila tidak diperlukan, maka hukumnya tidak boleh. Bahkan terdapat larangan untuk mengubah gigi dan mengikirnya untuk keindahan, beserta ancaman bagi pelakunya, karena perbuatan tersebut termasuk sia-sia dan mengubah ciptaan Allah.

Jika hal itu untuk pengobatan atau untuk membuang kelainan,atau untuk kebutuhan, misalnya seseorang tidak bisa makan dengan baik kecuali dengan mngubah gigi-giginya, maka hal tersebut diperbolehkan.

[Kitabul Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan, Juz 7, hal. 3223-324]

HUKUM MEMAKAI SOFT LENS UNTUK MENGHIAS DIRI DAN MENGINGKUTI MODE

Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan ditanya : Bagaimana hukum memakai soft lens dengan alasan menghias diri atau mengikuti mode, dimana harga lensa (kaca) matanya tidak kurang dari 700 riyal?

Jawaban
Memakai soft lens dengan alasan karena adanya suatu kebutuhan maka hal itu tidak menjadi masalah.

Adapun memakainya tanpa adanya suatu kebutuhan maka meninggalkannya tentunya lebih baik. Terlebih jika harganya itu cukup mahal, karena hal itu termasuk sikap berlebihan yang diharamkan dan dikhawatirkan didalamnya terjadi penipuan dan pemalsuan, karena secara hakiki pandangan matanya masih normal sehingga tidak membutuhkan itu.

[Al-Muntaqa 3/177]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Maratil Muslimah, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Penyusun Amin bin Yahya Al-Wazan, Penerjemah Zaenal Abidin Syamsuddin, Penerbit Darul Haq]